Minggu, 18 Maret 2012

Mengembalikan Semangat Kaum “Intelektual Minoritas”

Gerakan Mahasiswa

Unikama - Siapakah kaum intelektual minoritas yang dimaksud? Ya, jawabannya adalah mahasiswa. Bagi anda para mahasiswa, patut bersyukur dan berbanggalah akan titel yang mungkin baru anda sekalian sandang akhir-akhir ini. Karena dari total jumlah penduduk Indonesia ± 235 juta jiwa, jumlah kaum intelektual minoritas ini hanya sekitar 4.3 juta jiwa atau sekitar 4% dari total penduduk Indonesia.

Mahasiswa pada era-globalisasi sekarang seperti kehilangan arah dan tujuan. Kaum minoritas yang digadang-gadang sebagai “agent of change” ini seakan terjebak pada lingkaran dampak globalisasasi yang lebih mengedepankan corak hedonisme dan apatisme. Mereka yang seharusnya berperan dalam perubahan dan pembaharuan bangsa ke arah yang lebih baik namun pada kenyataannya hanya menjadi tokoh-tokoh apatis dalam keterpurukan bangsa dan seakan terhipnotis oleh kebahagian dunia semata.
 
Pada hakekatnya ketika kita bertanya, “apa tujuan anda menjadi mahasiswa”? secara general pastinya ingin membawa kepada suatu perubahan, baik itu dari segi kepentingan individu maupun masyarakat. Dalam perjalananya ke arah tujuan mulia itu terkadang selalu ada saja kekuatan yang seakan menghalangi dari dalam diri mereka sendiri. Pola pikir dan “main set” yang telah terkontaminasi oleh desakan abstrak dari dalam diri inilah yang terkadang menjerumuskan mereka kedalam lembah “hitam”, sehingga terkadang mata ini digelapkan pada penderitaan dan permasalahan bangsa sebaliknya diterangkan pada sifat-sifat hedonisme yang mengedepankan foya-foya dan kebahagiaan sesaat.
 
            Kerangka berfikir yang kurang sempurna dalam memandang sesuatu dan kurang peka terhadap suatu dinamika dimasyarakat membuat segelintir mahasiswa lebih merasa aman dan nyaman dalam “zona nyaman” masing-masing. Padahal mereka lupa bahwasannya mahasiswa punya peranan dan sebagai pengemban tugas besar dalam pembaharuan bangsa yang mengemban estafet sejak zaman kemerdekaan, yaitu untuk mencapai tujuan awal para pendiri bangsa (founding father’s).
 
            Perkembangan yang terjadi di kalangan mahasiswa pada dewasa ini bisa dikatakan terjadi sebuah kemunduran pola pikir. Mahasiswa yang lebih mengedepankan sifat-sifat anarkisme dalam menyuarakan kepentingan rakyat merupakan corak dan stigma negatif yang seakan-akan menyudutkan posisi mereka. Bahkan banyak dari masyarakat yang menganggap mahasiswa sekarang hanya disibukkan oleh tawuran antar sesama mahasiswa dan bentrokan terhadap aparat penegak hukum. Sehingga pada akhirnya keamanan masyarakat menjadi terganggu serta kehidupan pembelajaran di kampus menjadi tidak kondusif.
 
            Pergerakan mahasiswa pada masa Orde Lama, Orde Baru hingga beralih ke era reformasi seharusnya menjadi sebuah catatan bagi kaum intelektual minoritas ini untuk berkaca pada sejarah dan menjadikannya motivasi tersendiri untuk melakukan yang lebih baik lagi, sehingga mahasiswa sebagai “agent of change” memang riil adanya, bukan hanya sebatas slogan tanpa implementasi.
 
            Pada akhirnya sudah saatnya bagi mahasiswa untuk bangkit dari musuh-musuh abstrak dari dalam dirinya, sehingga dapat kembali pada rule awal yang mereka cita-citakan. Semoga dampak dari globalisasi yang mulai terasa tidak menjadi suatu halangan yang berarti bagi perkembangan kreativitas dan semangat dari dalam diri mereka. 


HIDUP MAHASISWA INDONESIA!!.
 

Posting Mengembalikan Semangat Kaum “Intelektual Minoritas”, ditulis oleh MPM_ Unikama. Tidak ada kesuksesan yang akan baik dan indah jika kita tidak menjalin hubungan yang baik dengan Allah SWT. Cantumkan link sumber jika anda ingin mengcopy nya, Terima kasih. Eeng.

Artikel Terkait

1 comments:

MPM_ Unikama mengatakan...

gaya hidup mahasiswa

Gaya hidup mahasiswa

Mahasiswa merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari sebuah lembaga pendidikan tingkat universitas. Sesuai dengan fungsinya mahasiswa memiliki peran penting yaitu sebagai kontrol sosial (yang nantinya beralih fungsi menjadi modal sosial). Mahasiswa dituntut upayanya dalam mengawal segala bentuk kebijakan-kebijakan politik pemerintahan yang bersinggungan langsung dengan sosial kemasyarakatan beserta segala macam bentuk perubahannya.

Tapi, tidak semua mahasiswa mengambil perannya sebagai kontrol sosial. Kebanyakan mahasiswa hanya berubah wujud menjadi sosok menara gading yang aktifitasnya tak lain mengikuti perkuliahan dan kembali ke bilik masing-masing. Hanya sebagian kecil mahasiswa yang ingin meluangkan waktunya untuk sekedar mengadakan diskusi ringan mengenai keadaan sosial yang berlangsung baik di dalam maupun di luar kampus. Bahkan lebih sedikit lagi jumlah mereka yang memiliki niat tulus turun berdemonstrasi menolak kebijakan-kebijakan pemimpin yang dianggap kurang membawa kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya.

Merekalah yang kemudian menyandang gelar Aktivis Kampus
Ada banyak hal yang diidentikkan terhadap mereka yang mengaku dan diakui sebagai aktivis kampus. Salah satu hal yang dilekatkan kepada kaum kritis ini menyangkut gaya hidup mereka. Aktivis sangat diidentikkan pada gaya hidup serabutan, misalnya jarang makan, sering begadang hingga malas kuliah.
Hal lain yang melekat dan terlihat langsung oleh mata kepala kita yaitu hal-hal bersifat fisik seperti rambut gondrong, pakaian compang-camping serta kurang perawatan tubuh. Semua hal diatas telah menjadi identitas tersendiri bagi mereka yang ingin menjadi aktifis.

Kembali kita telaah lebih dalam, bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang subtansial. Bagi mereka yang tidak menjalani gaya hidup demikian dan tetap menjalankan perannya sebagai mahasiswa tetap pantas dikatakan Aktivis.
Sayangnya kebanyakan mahasiswa hanya mengambil bagian permukaan dan membuang isi dalamnya. Para mahasiswa berlomba-lomba menjalankan pola hidup demikian agar setidaknya mereka dikatakan mahasiswa sebagaimana mahasiswa yang menjalankan fungsinya sebagai (hal ini mungkin juga mitos) “kontrol sosial” dengan cara berdandan ala aktivis.

Maka tidak afdol rasanya jika seorang aktivis tidak “urakan”.
Agar tidak menghakimi, mungkin saja gaya hidup demikian erat kaitannya dengan factor ekonomi, factor yang sebagian penggiat kajian (aktifis pergerakan pasti mengenal orang ini) “Marx” menjadi factor “determinan” dalam krisis social saat ini. Ya, tidak semua aktifis memiliki kekuatan ekonomi keluarga yang mapan, dan mungkin saja factor inilah yang menjadi salah satu pemicu para mahasiswa kelas ini untuk menengelamkan kepalanya dalam buku-buku wacana mencari jawaban atas ketidakadilan ekonomi hingga menemukan sebagian jawaban dari orang-orang yang merampas hak orang kecil.

Sihir modernisasi melahirkan status quo bagi anak2 muda yang beruntung memiliki orang tua yang mapan secara ekonomi. Mereka yang tercukupi hidupnya dengan berbagai material tak merasakan kontradiksi ekonomi yang sama dengan mahasiswa (maaf) miskin, sehingga membuat mereka ogah-ogahan memikirkan nasib saudaranya yang kurang beruntung. Kesibukan mereka hanya satu, bagaimana menyelesaikan kuliah dengan cepat hingga mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa harus terlibat masalah dengan aparat keamanan di jalan.

Bukannya melempar kesalahan terhadap mereka yang beruntung secara ekonomi, mengingat kehadiran salah satu subkultur yang telah diakui perlawanannya terhadap ketidakadilan social lahir dari anak muda yang memilih meninggalkan kemapanan ekominya. Tetapi, Lebih celaka lagi bagi mereka yang kurang beruntung yang hanya tinggal diam dengan keadaannya. Mungkin inilah mitos kecil yang berlangsung dilingkungan mahasiswa dimana gelar kesarjanaan berada tepat di depan nama lengkapnya.

http://ariien.wordpress.com/2010/04/20/gaya-hidup-mahasiswa/

Posting Komentar

 
Copyright 2011 @ BEM UNIKAMA!